Penulis: Eka Putra B Santoso, Pengajar Ilmu Politik IAIN Sultan Amay Gorontalo
Hari ini sebuah peringatan atas peristiwa sejarah 23 Januari 1942 kembali diurai. Sebagian akademisi berusaha untuk menuliskannya dalam sebuah ruang yang memorable atas perjuangan Nani Wartabone dan sahabat karibnya Kusnodanupoyo. Hal ini sebagai pengingat bahwa hari patriotik tidak sekedar ruang sejarah yang berulang setiap tahun. Tetapi lebih dari itu peristiwa yang penuh emosi tapi surplus etika merupakan gambaran elok peradaban di bumi serambi madinah.
Di tempat yang lain, perayaan upacara oleh pemerintah daerah juga digelar sebagai refleksi bahwa ingatan sejarah yang indah itu adalah unsur moral yang wajib diaplikasikan dalam sebuah semangat kemesraan, kebahagiaan dan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat Gorontalo.
Monumen kata tersebut yang akan coba saya urai dalam memaknai 23 Januari 2021. Tahun dimana sebuah ruang – ruang kemesraan kembali diuji dengan berbagai macam cobaan berat peninggalan tahun kemarin.
Menguatkan Identitas
Pesona 23 Januari 1942 digambarkan pada spektrum identitas yang berkelindan terutama pada dua tokoh sentralnya Nani Wartabone dan Kusnodanupoyo. Keduanya, adalah salah satu miniatur yang hidup dan membentuk hibridasi identitas di bumi Gorontalo.
Pertautan tersebut diikat dengan semangat patriotisme yang tujuannya untuk melepaskan rakyat dari cengkraman penjajah Belanda. Kita semua tentu bisa membaca secara gamblang bahwa bagaimana sebuah momentum digunakan secara baik oleh keduanya untuk menguasai wilayah sentral Gorontalo. Hal ini menarik, bahwa secara eksistensial Gorontalo membuat sebuah lompatan sejarah dikukuhkannya kemerdekaan ditingkatan lokal.
Dalam bacaan Politik pengambilalihan kekuasaan salah satu teritori wilayah dinamakan sebagai “ Insubordination Peak”. Langkah ini tidak selalu diambil dalam posisi yang aman secara gerakan diplomasi tetapi banyak diambil dengan prosesi revolusioner yang memakan korban yang tidak sedikit. Tetapi di Gorontalo, upaya strategi untuk mengambil alih kekuasaan berlangsung senyap. Perjalanan yang ditempuh para geriliyawan untuk mengepung dan menguasai markas Belanda seangat terukur dan tak memakan korban.
Inti dari peristiwa tersebut adalah selain etika dan moral dalam gerakannya, yang terpenting adalah sebuah kolaborasi yang apik dari garis identitas yang berbeda. Perjuangan 23 Januari telah mewariskan sebuah cita-cita kebersamaan yang mengubah secara tekstual definisi identitas yang normative. Pemaknaan Identitas dalam peristiwa tersebut adalah ruang keterbukaan, kebersamaan, kebahagiaan dan kesejahteraan untuk seluruh umat manusia yang nantikan memutuskan lahir, tinggal dan mencari nafkah di Gorontalo. Olehnya atas hal itu idealnya tidak ada istilah primordialisme dalam tataran struktural dan kultural di Gorontalo. Relasi antar induk indentitas melahirkan humanisme identitas kolektif yang wajib dijaga dan dilestarikan di Bumi Gorontalo.
Merawat Harapan
Setelah menyimak visualisasi perjuangan 23 Januari dalam uraian tulisan ini, penting untuk mempertanyakan apakah harapan yang terselip pada benak warga masyarakat saat ini. Selain warisan Identitas kolektif yang terasa terus dirawat, apakah etika dan moralitas dalam wilayah publik juga dimaknai dalam prosesi kebijakan yang kini lahir?. Menarik untuk menelisik Pidato Gubernur Gorontalo yang menjadikan hari patriotik ke 79 sebagai momentum melawan permasalahan bangsa.
Gubernur dua periode tersebut menekankan bahwa saat ini perlawanan yang harus dilakukan bukan mengangkat senjata seperti saat jaman penjajahan dahulu, tetapi lebih pada berjuang melawan permasalahan bangsa seperti kemiskinan, bencana alam, narkoba dan paham-paham radikal. Mungkin beliau lupa satu hal, bahwa saat ini permasalahan bangsa yang paling urgen adalah penyakit Korupsi yang meruyak.
Kejahatan kerak putih itu ibarat penjajah modern yang kini menggerogoti negeri ini, membunuh dan menenggelamkan segala kedamaian yang bersemayam pada naluri warga yang wajib diurusi oleh pemerintah. Refleksi ini harusnya patut dikampanyekan. Apalagi, dengan pemberitaan dari Majalah TEMPO yang menyoroti kasus dugaan Korupsi di Gorontalo harusnya di sanggah dengan komitmen pemberantasan korupsi di daerah adat ini.
Kini, harapan menjadikan daerah sebagai ruang yang bersih persis seperti niatan perjuangan Nani Wartabone wajib untuk diaplikasikan dalam paket kebijakan yang masuk akal dan terukur. Karena, pidato yang indah dalam podium nan megah hanya akan membuat harapan yang diamanatkan publik menguap dan menjadi karbon diokdsida dan buruk bagi kesehatan.
Sebelum menutup, semoga 79 tahun berlalu tak hanya menjadi kenang-kenangan yang selalu diceremonialkan. tetapi menjadi Gen perjungan yang hidup tidak hanya dihati rakyat, tetapi di nurani para pemegang kekuasaan yang diberi porsi duduk dan berfikir.