Satu Tahun Bolsel dalam bayang-bayang Pandemi

KORDINAT.ID – Tanggal 2 Maret 2021 merupakan momentum setahun pandemi Covid-19 melanda Indonesia setelah diumumkan Presiden Jokowi satu tahun yang lalu. Seperti daerah lain, Kabupaten Bolaang Mongondow Selatan (Bolsel) turut merasakan dampak buruk dari virus itu: baik menyangkut kesehatan, pendidikan maupun ekonomi. Laporan terbaru Dinas Kesehatan Kabupaten Bolsel menyebutkan, total jumlah kasus yang terkonfirmasi positif adalah 82 orang: sembuh 78 orang, meninggal 3 orang, dan dalam perawatan 1 orang.

“3 orang yang meninggal ini memilki penyakit bawaan atau komorbid,” kata Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Bolsel, Sadly Mokodongan, Jumat (12/3).

Sadly menuturkan, berbagai upaya telah dilakukan pemerintah guna menghentikan pandemi Covid-19, mulai dari pelarangan membikin kegiatan yang mengundang banyak orang, intens melakukan sosialisasi protokol kesehatan, memberlakukan rapid test gratis, swab gratis (jika memiliki keluhan), hingga yang terbaru adalah mensukseskan program vaksinasi nasional.

Advertisement

“Vaksinasi tahap 1 untuk sasaran Tenaga Kesehatan (Nakes) dan Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (Forkompimda) sudah selesai, dengan jumlah 1.500 dosis vaksin sinovac. Sedang yang tahap 2 dengan jumlah 1.000 dosis, untuk sasaran pelayan publik, mungkin pelaksanaan vaksinasinya minggu depan,” ujarnya.

***

Jam telah menunjuk angka 08.00. Seorang anak lelaki baru saja keluar rumah setelah mencium tangan ibunya. Seragam lengkap sekolah dasar dengan rapi dikenakan. Namun satu pakaian tambahan menyelimuti mulut dan hidungnya, yakni masker. Pagi itu ia berangkat ke salah satu rumah siswa. Kini, belajar-mengajar tidak lagi dilakukan di lingkungan sekolah, tapi telah diatur sedemikan rupa supaya memutus mata rantai penyebaran virus corona.

Advertisement

Nama lengkap lelaki itu Muh. Al-Hafiz Panu. Usianya delapan tahun, merupakan siswa SDN II Tolondadu. Ia baru duduk di bangku kelas dua. Jumlah keseluruhan di kelas itu adalah sepuluh orang. Setiap Senin-Kamis ialah hari di mana mereka bersekolah. Rumah-rumah mereka ini lah yang setiap harinya bergantian semacam menjadi tempat atau kelas alternatif di tengah-tengah pandemi Covid-19, dengan waktu belajar kurang lebih 1 jam 30 menit. Jika sebelumnya saban pagi siswa menjemput ilmu di sekolah, kini bergantian: guru yang mesti mengurai ilmunya di rumah para siswa.

Namun, menurut Kepala Bidang Pembinaan Pendidikan Dasar, Dinas Pendidikan Kabupaten Bolsel, Idwan Latjolai, problem lain muncul setelah pihaknya mulai memberlakukan pembelajaran jarak jauh (PJJ) dan belajar dari rumah (BDR), masalah itu mulai dari sulitnya akses jaringan internet dan juga saat guru melakukan pembelajaran banyak kemudian siswa yang tidak hadir. Katanya, alasan mendasar beberapa siswa tidak mengikuti pembelajaran karena sering ikut orang tua pergi ke kebun.

Walaupun begitu, kata Idwan, pihaknya telah memberikan persyaratan bagi sekolah-sekolah di bawah naungan dinas pendidikan di daerah itu untuk kemudian melaksanakan pembelajaran tatap muka (PTM) guna menindaklanjuti surat keputusan empat menteri: yakni Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri Agama, Menteri Kesehatan dan Menteri Dalam Negeri “tentang panduan penyelenggaraan pada tahun ajaran 2020/2021 dan tahun akademik 2020/2021 di masa pandemi Covid-19.

“Sejauh ini belum ada sekolah yang mengajukan atau melakukan pembelajaran tatap muka,” ungkapnya.

Dampak Covid-19 pada Proses Belajar di Sekolah

Sebuah Jurnal Penelitian yang ditulis Rizqon Halal Syah Aji dengan judul “Dampak Covid-19 pada Pendidikan di Indonesia: Sekolah, Keterampilan, dan Proses Pembelajaran” menyebutkan, pembelajaran di sekolah merupakan alat kebijkan publik terbaik dalam upaya peningkatan pengetahun dan skill. Selain itu banyak siswa yang menganggap bahwa sekolah adalah kegiatan yang sangat menyenangkan, sebab di sekolah mereka bisa berinteraksi satu sama lain, meningkatkan keterampilan sosial dan kesadaran sosial siswa. Sekolah secara keseluruhan adalah media interaksi antar siswa dan guru untuk meningkatkan kemampuan inteligensi, skill dan rasa kasih sayang di antara mereka.

“Tetapi sekarang kegiatan yang bernama sekolah itu berhenti dengan tiba-tiba karena pandemi Covid-19,” tulis Rizqon.

Ia menguraikan, pada sebuah artikel yang ditulis oleh Carlsson menjelaskan di mana para remaja di Swedia memiliki hari yang berbeda untuk mempersiapkan diri menghadapi tes penting. Perbedaan-perbedaan ini acak kondisional sebagaimana yang coba diasumsikan Rizqon dengan kondisi yang sama di Indonesia. Para remaja di Swedia itu menambah belajar selama 10 hari sekolah dan hasil yang mereka dapatkan adalah meningkatkan skor pada tes pengetahuan mereka. Merujuk Carlsson, jika pada tes penggunaan pengetahuan dan diasumsikan setiap kehilangan tidak bersekolah selama 10 hari adalah 1% dari standar deviasi maka siswa sekolah dalam 12 minggu atau 60 hari sekolah mereka akan kehilangan 6% dari standar deviasi.

“Kondisi ini bukan masalah sepele. Siswa akan terganggu pengetahuannya untuk masa datang dengan masalah pengetahuan yang lebih kompleks.”

Lanjutnya, hal serupa didukung oleh Lavy, yang merumuskan dampak pada pembelajaran karena perbedaan waktu pengajaran di seluruh negara di dunia. Ia menstimulasikan bahwa total jam mengajar mingguan dalam matematika, bahasa dan sains adalah 55% lebih tinggi di Denmark daripada Austria. Perbedaan ini penting, sebab perbedaan signifikan dalam hasil skor tes sekitar 6% dari standar deviasi seperti disebutkan di atas. Sehingga jelas berapa pun yang diterima oleh pelajar Indonesia karena kehilangan waktu belajar di sekolah jelas berakhir kapada kerugian siswa akan tergerusnya pengetahuan mereka.

Kehadiran pandemi Covid-19 secara mendadak, maka dunia pendidikan Indonesia perlu mengikuti alur yang sekiranya dapat menolong kondisi sekolah yang sedang dalam keadaan darurat. Sekolah perlu memaksakan diri menggunakan media daring, namun di sisi lain pengunaan teknologi bukan tanpa masalah, banyak varian masalah yang menghambat terlaksananya efektivitas pembelajaran di antaranya: keterbatasan pengusaan teknologi informasi oleh guru dan siswa; sarana dan prasarana yang kurang memadai; akses internet yang terbatas; dan terakhir kurang siapnya penyediaan anggaran.

Rizqon menambahkan, melihat keadaan demikian penanganan pandemi Covid-19 pada dunia pendidikan mesti diintervensi oleh seluruh stakeholders dengan cara bahu-membahu untuk berbuat: baik itu pemerintah, orang tua, guru maupun pihak sekolah.

***

Pandemi Covid-19 bukan semata-mata menyerang sektor kesehatan dan pendidikan, akan tetapi turut menghantam perekonomian Indonesia. Tidak sedikit perusahaan yang bangkrut; bisnis pariwisata yang tutup; UMKM yang gulung tikar; ribuan buruh yang di PHK dan di rumahkan; belum lagi masyarakat yang sekadar menggantungkan hidupnya sebagai nelayan dan petani; dst. Femona ini hanyalah secuil gambaran betapa hancurnya tatanan ekonomi akibat kehadiran wabah corona. Lalu seperti apa perekonomian di Bolsel selama pandemi berlangsung?

Menurut Kepala Badan Perencanaan, Penelitian dan Pengembangan Daerah (Bapelitbangda) Kabupaten Bolsel, Harifin Matulu, bahwa pertumbuhan ekonomi di daerah itu menunjukkan trend cukup baik sejak tahun 2016 (6,3%); 2017 (6,24%); 2018 (6,56%); dan sedikit melambat di tahun 2019 (6,39%). Kata Harifin, perlambatan di tahun 2019 bukan karena tidak terjadi pertumbuhan ekonomi, akan tetapi tidak se-signifikan seperti pada 2017-2018.

Harifin mengatakan, secara umum memang, hadirnya pandemi corona cukup memporak-porandakan perekonomian, bukan hanya di Indonesia tapi juga di seluruh dunia. Untuk nasional pertumbuhan ekonomi di masa pandemi selang tahun 2020 adalah -2,07%, Provinsi Sulawesi Utara -0,99%, dan Kabupaten Bolsel 0,63%.

“Jika dibandingkan dengan nasional maupun Provinsi Sulawesi Utara, pertumbuhan ekonomi di Bolsel masih tumbuh positif pada tahun 2020. Begitu juga jika dibandingkan dengan kabupaten/kota lainnya,” ujarnya.

Kata Harifin, bila dilihat dari Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) yang paling penting pada saat pandemi adalah dari 17 sub kategori penyumbang PDRB maka sektor seperti: Pertanian, Kehutanan dan Perikanan adalah yang berperan signifikan serta tidak berdampak pada saat pandemi sekalipun. Artinya bahwa sebagian besar penduduk Bolsel menggantungkan hidupnya di pertanian.

“Jangan heran mengapa tingkat kemiskinan di Bolsel yang pada tahun 2019 berada di angka 13,27%, justru pada tahun 2020 mengalami penurunan angka yaitu 12,77%. Padahal tahun itu adalah di masa pandemi Covid-19,” ungkapnya.

UMKM Tumbuh

Berdasarakan data Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi (Disperindagkop) dan Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) Kabupaten Bolsel pada tahun 2020 jumlah UMKM justru mengalami kenaikan hingga 104% jika dilihat selama 4 tahun terakhir. 2017 (610 UMKM), 2018 (665 UMKM), 2019 (705 UMKM) dan 2020 (1438 UMKM).

“UMKM sangat mendukung pertumbuhan ekonomi, sebab UMKM bisa menimbulkan kreativitas baru untuk memperoleh sumber-sumber penghasilan lainnya,” kata Harifin sembari menambahkan pada tahun 2021 pihaknya bakal memanfaatkan program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) yang pada tahun 2020 belum bisa dimanfaatkan.

Sedikit fakta di atas memperlihatkan kondisi ekonomi Bolsel ini tidak terlalu terdampak secara signifikan dengan hadirnya pandemi, namun bukan berarti kita terlena oleh keadaan demikian. Tapi tidak dengan sektor pendidikan dan kesehatan. Masih banyak pekerjaan rumah yang mesti diselesaikan, yang itu juga menjadi tantangan seluruh daerah di Indonesia bahkan dunia. Akan tetapi, ikhtiar dan doa yang kerap kita panjatkan semoga menjauhkan pandemi dari daerah religius ini.***

Aprie  

 

Advertisement

Advertisement

Komentar Facebook
Bagikan Berita ini

Baca Juga

Pengembangan Kawasan Ekonomi Khusus Teluk Tomini: Bolsel Salah Satunya

KORDINAT.ID – Pre Regional Meeting untuk daerah-daerah yang berada wilayah Teluk Tomini digelar di Hotel …